Pertunjukan wayang kulit yang mulai dikenal di Jawa, yaitu pada masa pemerintahan Dharmawangsa Airlangga di Kerajaan Kadiri. Ini menjelaskan bahwa pertunjukan wayang (mengambil lakon Bima di masa muda) untuk keperluan upacara telah dikenal pada masa itu. Ini untuk menjelaskan bahwa budaya wayang telah merasuk dan berkembang sejak lama di tengah masyarakat kita.Keyakinan bahwa wayang merupakan produk budaya sejati bangsa Indonesia antara lain ditegaskan oleh pakar wayang, Prof Dr Soetarno, Ketua Sekolah Tinggi Seni Indonesia (STSI), Surakarta, yang di antaranya membawahi Jurusan Pedalangan.Juga dalam Kitab Tantu Panggelaran (abad ke-12) disebutkan tentang wayang yang menggunakan bahan dari kulit binatang yang ditatah. Adapun kelir (layar) juga telah digunakan pada masa itu (Kitab Wreta Sancaya).
Pada pertengahan abad ke-12, iringan musik untuk pementasan wayang antara lain berupa tudungan dan saron kemanak.GAJ Hazeu, seorang ahli bahasa dari Belanda yang meneliti tentang wayang, pada tahun 1897 meyakini pula bahwa wayang merupakan hasil kebudayaan Jawa. Ini didasarkan etimologi istilah-istilah yang dikenal dalam pementasan wayang, yaitu dalang, kelir, wayang, keprak, dan blencong. Secara leksikon, wayang berarti bayangan. Disertasi Hazeu di atas merupakan hasil penelitian ilmiah tentang wayang yang pernah dilakukan meski lebih dari sudut linguistik, karenanya juga menjadi sumber informasi paling valid.
Sejumlah sumber tertulis lain seperti Serat Centhini (1823) dan Sastramiruda (1920) juga menyinggung tentang wayang, namun itu lebih didasarkan pada tradisi oral sehingga sulit diyakini validitasnya. Kemudian, Prof Poerbatjaraka dalam Kapustakan Jawi (1952) memaparkan sejumlah hasil penelitian yang di antaranya mengungkap tentang sejarah wayang. Mula-mula, pelukisan sosok wayangnya dibikin "realis" (tiga dimensi), seperti sosok wayang pada relief di Candi Prambanan (abad ke-10), Jawa Tengah. Pada masa Majapahit (abad ke-13), bentuk wayang dibikin agak miring (menyamping), meniru relief di Candi Penataran, Jawa Timur, (bentuk autentiknya bisa kita lacak pada wayang Bali saat ini). Keberadaan candi-candi di atas menunjukkan pengaruh kuat agama Hindu di Jawa. Apalagi relief atau arca yang terdapat di candi-candi tersebut banyak melukiskan fragmen-fragmen cerita "wayang". Dari data sejarah di atas dan proses perkembangan yang dialami, berbagai pihak meyakini bahwa wayang adalah karya budaya "asli" karena lahir dan mengalami proses panjang di Indonesia.
Meski tidak diingkari bahwa cerita-cerita pewayangan berasal dari tradisi Hinduisme di India, sebagai produk kebudayaan, wayang mengalami proses "pencanggihan" sendiri di bumi nusantara. Kompleksitas dan intensitas proses pencanggihan pada pertunjukan wayang yang meliputi berbagai aspeknya itu agaknya tidak kita kenal pada produk budaya yang lain di nusantara.Melalui wayang, kita melihat suatu proses kebudayaan yang menurut para ahli, "tidak terjadi di ruang kosong". Wayang berkembang menjadi ekspresi budaya yang autentik bagi bangsa Indonesia.
Selain di Jawa dan Bali, wayang sempat berkembang di Kalimantan, Sumatera, dan Lombok. Secara obyektif, wayang yang berkembang di Indonesia berbeda cukup signifikan dengan wayang yang ada di India (ataupun di Thailand). Selain wayang kulit purwa (dengan kisah Ramayana dan Mahabharata), ada pula wayang beber (kisah Panji). Kemudian dikenal wayang madya (zaman sesudah Parikesit), wayang gedog (siklus Panji), wayang klithik (kisah Damarwulan), wayang golek (dari Serat Menak), wayang dupara (Babad Mataram II), wayang krucil (kisah Damarwulan), wayang kancil (fabel), wayang perjuangan (1945), wayang suluh (1945), wayang pancasila (1947), wayang wahyu (1960), wayang buddha (1979), wayang sandosa (1980), wayang sadhat (1984), wayang kampung (2002), dan wayang sang pamarta (2003). Belum lagi yang mengambil bentuk atau media pertunjukan lain, seperti wayang orang, wayang topeng, langen mandra wanaran, sendratari wayang, wayang jemblung. Dan dalam bentuk kontemporer muncul kreasi wayang nggremeng, wayang suket.
Pada pertengahan abad ke-12, iringan musik untuk pementasan wayang antara lain berupa tudungan dan saron kemanak.GAJ Hazeu, seorang ahli bahasa dari Belanda yang meneliti tentang wayang, pada tahun 1897 meyakini pula bahwa wayang merupakan hasil kebudayaan Jawa. Ini didasarkan etimologi istilah-istilah yang dikenal dalam pementasan wayang, yaitu dalang, kelir, wayang, keprak, dan blencong. Secara leksikon, wayang berarti bayangan. Disertasi Hazeu di atas merupakan hasil penelitian ilmiah tentang wayang yang pernah dilakukan meski lebih dari sudut linguistik, karenanya juga menjadi sumber informasi paling valid.
Sejumlah sumber tertulis lain seperti Serat Centhini (1823) dan Sastramiruda (1920) juga menyinggung tentang wayang, namun itu lebih didasarkan pada tradisi oral sehingga sulit diyakini validitasnya. Kemudian, Prof Poerbatjaraka dalam Kapustakan Jawi (1952) memaparkan sejumlah hasil penelitian yang di antaranya mengungkap tentang sejarah wayang. Mula-mula, pelukisan sosok wayangnya dibikin "realis" (tiga dimensi), seperti sosok wayang pada relief di Candi Prambanan (abad ke-10), Jawa Tengah. Pada masa Majapahit (abad ke-13), bentuk wayang dibikin agak miring (menyamping), meniru relief di Candi Penataran, Jawa Timur, (bentuk autentiknya bisa kita lacak pada wayang Bali saat ini). Keberadaan candi-candi di atas menunjukkan pengaruh kuat agama Hindu di Jawa. Apalagi relief atau arca yang terdapat di candi-candi tersebut banyak melukiskan fragmen-fragmen cerita "wayang". Dari data sejarah di atas dan proses perkembangan yang dialami, berbagai pihak meyakini bahwa wayang adalah karya budaya "asli" karena lahir dan mengalami proses panjang di Indonesia.
Meski tidak diingkari bahwa cerita-cerita pewayangan berasal dari tradisi Hinduisme di India, sebagai produk kebudayaan, wayang mengalami proses "pencanggihan" sendiri di bumi nusantara. Kompleksitas dan intensitas proses pencanggihan pada pertunjukan wayang yang meliputi berbagai aspeknya itu agaknya tidak kita kenal pada produk budaya yang lain di nusantara.Melalui wayang, kita melihat suatu proses kebudayaan yang menurut para ahli, "tidak terjadi di ruang kosong". Wayang berkembang menjadi ekspresi budaya yang autentik bagi bangsa Indonesia.
Selain di Jawa dan Bali, wayang sempat berkembang di Kalimantan, Sumatera, dan Lombok. Secara obyektif, wayang yang berkembang di Indonesia berbeda cukup signifikan dengan wayang yang ada di India (ataupun di Thailand). Selain wayang kulit purwa (dengan kisah Ramayana dan Mahabharata), ada pula wayang beber (kisah Panji). Kemudian dikenal wayang madya (zaman sesudah Parikesit), wayang gedog (siklus Panji), wayang klithik (kisah Damarwulan), wayang golek (dari Serat Menak), wayang dupara (Babad Mataram II), wayang krucil (kisah Damarwulan), wayang kancil (fabel), wayang perjuangan (1945), wayang suluh (1945), wayang pancasila (1947), wayang wahyu (1960), wayang buddha (1979), wayang sandosa (1980), wayang sadhat (1984), wayang kampung (2002), dan wayang sang pamarta (2003). Belum lagi yang mengambil bentuk atau media pertunjukan lain, seperti wayang orang, wayang topeng, langen mandra wanaran, sendratari wayang, wayang jemblung. Dan dalam bentuk kontemporer muncul kreasi wayang nggremeng, wayang suket.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar